A. JUDUL PERCOBAAN
Iodometri
dan penentuan Cu
B. TUJUAN PERCOBAAN
1. Mempelajari teknik pembuatan larutan standar Na2S2O3 0,1
N dan standarisasinya.
2. Mengetahui
cara menghitung normalitas larutan standar natrium tiosulfat.
3. Mengetahui
cara penentuan kadar Cu dari
CuSO4.
C. LANDASAN TEORI
Iodin (I2) sukar larut dalam air
tetapi mudah larut dalam larutan yang mengandung ion iodida membentuk triiodida
(I3-). Kelarutannya dapat ditingkatkan dengan menambahkan
kalium iodida. Penambahan kalium iodida juga dapat mengurangi sifat mudah
menguap dari iodin. Iodin dalam bentuk triiodida (I3-)
merupakan oksidator yang lebih lemah daripada
kalium permanganat dan kalium dikromat. Potensial reduksi standar dari iodin
sebesar 0,54V dengan persamaan reaksi:
Meskipun sebenarnya iodin dalam bentuk
triiodida namun untuk mempermudah maka dituliskan dengan bentuk I2.
Analisis titrimetri yang melibatkan iodin dibedakan menjadi dua yakni titrasi
iodometri langsung dan titrasi iodometri tidak langsung (Pursitasari, 2014:
175).
Iodometri dengan Na2S2O3
sebagai titran (titrasi tidak langsung). Analat harus berbentuk suatu oksidator
yang cukup kuat, karena dalam metode ini analat selalu direduksi dulu dengan KI
sehingga terjadi I2. I2 inilah yang dititrasi dengan Na2S2O3.
Titrasi dapat dilakukan tanpa indikator dari luar karena warna I2
yang dititrasi itu akan lenyap bila titik akhir tercapai; warna itu mula-mula
cokelat agak tua, menjadi lebih muda, lalu kuning-muda dan seterusnya, sampai
akhirnya lenyap. Bila diamati dengan cermat perubahan warna tersebut, maka
titik akhir dapat ditentukan dengan cukup jelas. Konsentarsi= 5 x 10-6 M
yod masih tepat dapat dilihat dengan dan memungkinkan penghentian titrasi
dengan kelebihan hanya senilai 1 tetes yod 0,05 M. Namun lebih mudah bila
ditambahakan amilum ke dalam larutan sebagai indikator (Harjadi, 1990:
212-213).
Menurut Ibnu (2004:
119-120) ada dua cara untuk melakukan proses iodo/iodimetri, yakni:
1. Titrasi
langsung (Iodimetri)
Titrasi dilakukan langsung dengan
larutan standar iod sebagai oksidator karena larutan iod adalah oksidator lemah
dan penggunaannya terbatas. Contoh zat-zat yang ditentukan adalah zat H2S,
SO22-, S2O32-, AsO3-,
dan SbO3-.
2. Titrasi
tak langsung
Zat yang akan ditentukan
direaksikan dengan iod iodida biasanya digunakan larutan KI berlebih. Zat
oksidator direduksi dengan membebaskan I2 yang jumlahnya ekivalen.
Larutan baku iod dapat dibuat dari unsur murninya. Standarisasinya dapat
dilakukan dengan asam arsenit (H3AsO3) sebagai standar
primernya.
Iodometri langsung
(Iodimetri) merupakan titrasi terhadap larutan analit dengan larutan iodin
sebagai larutan standar (titran) menggunakan indikator amilum sehingga titrasi
iodometri langsung disebut sebagai titrasi iodimetri. Beberapa senyawa yang
dapat dititrasi dengan larutan iodin adalah tiosulfat, arsen, antimony,
sulfida, sulfit dan ferrosianida. Larutan iodin merupakan larutan standar
sekunder sehingga sebelum digunakan untuk menentukan kuantitas analit maka
larutan iodin harus distandarisasi terlebih dahulu dengan larutan standar
primer. Standarisasi larutan iodin dilakukan dengan menggunakan arsen trioksida
sebagai larutan standar primer. Senyawa arsen trioksida dinetralkan dengan
penambahan asam (Pursitasari, 2014: 175).
Perbedaan antara iodometri dan iodimetri adalah pada iodometri perubahan
warna pada titik ekivalen (TE) dari biru menjadi tak berwarna sedangkan pada iodimetri perubahan warna pada titik
ekivalen (TE) dari tak berwarna menjadi biru. Kelemahan dari titrasi tak
langsung adalah larutan iod merupakan oksidator yang lemah, tak stabil karena
mudah menguap. Larutan iod dapat mengoksidasi karet, gabus, dan zat-zat organik
lainnya. Larutan iod juga dipengaruhi oleh udara dan larutan iod tidak dapat
digunakan atau dilakukan dalam suasana basa, yakni pada pH > 9 (Ibnu, 2004:
120-121).
Natrium tiosulfat
umumnya dibeli sebagai pentahidrat Na2S2O3×5H2O
dan
larutan-larutannya distandarisasi
terhadap sebuah standar primer. Larutan-larutan tersebut tidak stabil pada jangka
waktu yang lama sehingga boraks atau natrium karbonat seringkali ditambahkan
sebagai bahan pengawet. Iodin mengoksidasi tiosulfat menjadi ion tetrationat:
Sejumlah substansi dapat dipergunakan
sebagai larutan standar-standar primer untuk larutan tiosulfat. Iodin murni
adalah larutan standar yang paling jelas namun jarang dipergunakan karena
kesulitannya dalam penanganan dan penimbangan. Yang lebih sering dipergunakan
adalah standar yang terbuat dari suatu agen pengoksidasi kuat yang akan
membebaskan iodin dan iodida sebuah proses iodometrik (Day, 2002: 298).
Larutan Na2S2O3
biasanya dibuat dari garam pentahidratnya Na2S2O3×5H2O.
Larutan ini perlu distandarisasi. Kestabilan larutan mudah dipengaruhi oleh pH
rendah, sinar matahari, dan terutama adanya bakteri yang memanfaatkan S.
Kestabilan larutan Na2S2O3 dalam penyimpanan
ternyata paling baik bila mempunyai pH antara 9 dan 10, mungkin karena
aktivitas bakteri yang minimal. Untuk kebutuhan biasa, pH 7 sudah sangat
memadai. Walaupun demikian, larutan Na2S2O3
harus distandarisasi ulang. Kebanyakan titrasi yodometri dilakukan pada pH
antara 5 dan 9 maka kesalahan oksigen menjadi kecil. Namun jangan membiarkan
larutan untuk dititrasi tergeletak terlalu lama, sebaiknya secepatnya dititrasi
setelah penambahan KI (ini sejalan dengan usaha pencegahan kesalahan karena I2
yang menguap) (Harjadi, 1990: 213-214).
Harga E° iodium berada
pada daerah pertengahan sehingga sistem iodium dapat digunakan untuk oksidator
maupun reduktor. Jika E° tidak bergantung pada pH (pH < 8,0 ) maka persamaan
reaksinya:
I2 adalah oksidator lemah
sedangkan iodida secara relatif merupakan reduktor
lemah. Kelarutannya cukup baik dalam air
dengan pembentukan triodida (KI3).
Sehingga adalah reaksi pada
permulaan reaksi. Iodium
dapat dimurnikan dengan sublimasi. Ia larut dalam larutan KI dan harus disimpan dalam tempat yang dingin
dan gelap. Dapat distandarisasi dengan As2O3.
Berkurangnya iodium akibat penguapan dan oksidasi udara menyebabkan banyak
kesalahan analisis. Cara lain yang digunakan adalah dengan standarisasi menggunakan senyawa Na2S2O3×5H2O.
Larutan tiosulfat distandarisasi terlebih dahulu dengan K2Cr2O7
(Khopkar, 1990:58-59).
Suatu kelebihan kalium iodida ditambahkan untuk meningkatkan kelarutan
dan untuk menurunkan keatsirian iodin. Biasanya sekitar 3 sampai 4% berat
KI ditambahkan kedalam larutan 0,1 N dan botol yang mengandung larutan ini
disumbat dengan baik. Larutan-larutan iodin standar dapat dibuat melalui
penimbangan langsung pada iodin murni dan pengenceran dalam sebuah labu
volumetrik. Iodin akan dimurnikan oleh sublimasi dan ditambahkan ke dalam
sebuah larutan KI yang terkonsentrasi (Day, 2002: 296).
Aplikasi metode
iodimetri dapat digunakan dalam perbandingan hasil penetapan kadar vitamin C.
Selain iodimetri juga dapat digunakan metode spektrofotometri UV-Vis. Sampel
yang telah ditimbang, diencerkan lalu ditambahkan dengan asam sulfat 10% dan
ditambahkan beberapa tetes larutan amilum 1% sebagai indikator. Setelah itu
sampel dititrasi dengan larutan iodium hingga berwarna biru. Warna biru adalah
iod-amilum yang menandakan bahwa proses titrasi telah mencapai titik akhir.
Penggunaan metode spektrofotometri UV-Vis lebih besar daripada menggunakan
metode iodimetri (Karinda, 2013: 89).
Ada banyak aplikasi
iodometrik dalam kimia analisis. Penentuan iodometrik tembaga banyak
dipergunakan baik untuk bijih maupun paduannya. Metode ini memberikan
hasil-hasil yang sempurna dan lebih cepat daripada penentuan elektrolitik
tembaga. Metode klasik dari walker adalah sebuah metode sensitif untuk
menentukan oksigen yang dilarutkan dalam air. Ke dalam sampel air ditambahkan
sejumlah berlebih garam mangan (II), natrium iodida, dan natrium hidroksida
(Day, 2002: 299).
Amilum dengan I2 membentuk suatu
kompleks berwarna biru tua yang masih sangat jelas sekalipun I2 yang
digunakan sedikit sekali. Pada titik akhir, yod yang terikat itupun hilang
bereaksi dengan titrant sehingga warna biru lenyap mendadak dan perubahan
warnanya tampak sangat jelas. Penambahan amilum ini harus menunggu sampai
mendekati titik akhir titrasi, titik akhir titrasi ditandai bilayod sudah
tinggal sedikit yang nampak dari warnanya yang kuning-muda. Maksudnya ialah
agar amilum tidak membungkus yod dan menyebabkannya sukar lepas kembali. Hal
itu akan mengakibatkan warna biru sulit sekali lenyap sehingga titik akhir tidak
kelihatan tajam lagi. Bila yod masih banyak sekali bahkan dapat menguraikan
amilum dan hasil penguraian ini mengganggu perubahan warna pada titik akhir
(Harjadi, 1990: 213).
Iodida pada konsentrasi
<10-5 M dapat dengan mudah ditekan oleh amilum. Sensitivitas
warnanya tergantung pada pelarut yang digunakan. Kompleks iodium-amilum
mempunyai kelarutan yang kecil dalam air sehingga biasanya ditambahkan pada
titik akhir reaksi. Reaksi iodium-tiosulfat, jika larutan iodium di dalam KI
pada suasana netral maupun asam dititrasi maka:
Selama reaksi zat antara S2O3I-
yang tidak berwarna adalah terbentu sebagai
Reaksi berlangsung baik di bawah pH =
5,0 sedangkan pada larutan, larutan asam hypoiodus (HOI) terbentuk (Khopkar, 1990: 59).
Pembakuan iodium dilakukan sebanyak 3 kali replikasi.
Pada saat pembakuan iodium terjadi kesalahan pada saat pembuatannya, yakni
terlalu banyak saat pengenceran aquades menyebabkan hasil tidak bisa digunakan
untuk titrasi karena terlalu encer. Sehingga dilakukan pembuatan ulang larutan
baku iodium, dengan hasil yang didapat sesuai yang diinginkan sehingga bisa
digunakan untuk titrasi. Tujuan dilakukan pembakuan adalah untuk menyamakan
larutan yang digunakan untuk titrasi dengan standar larutan baku. Hasil dari
rata-rata titrasi didapat 33,83 ml dan normalitasnya 0,089 N dengan perubahan
warna kuning ke merah muda kemudian menjadi biru mantap. Dasar dari metode
Iodimetri adalah bersifat mereduksi vitamin C (asam askorbat). Asam askorbat merupakan
zat pereduksi yang kuat dan secara sederhana dapat dititrasi dengan larutan
baku iodium. Metode iodimetri (titrasi langsung dengan larutan baku idoium 0,1
N) dapat digunakan pada asam askorbat murni atau larutannya (Siti, dkk. 2016: 4).D.
ALAT DAN
BAHAN
1.
Alat
a. Gelas
kimia 50 ml 1 buah
b. Pipet
volume 25 ml 2 buah
c. Gelas
ukur 10 mL 1 buah
d. Gelas
ukur 25 ml 1
buah
e. Gelas
ukur 50 mL 1
buah
f. Pipet
tetes 6 buah
g. Buret 50
ml 2
buah
h. Labu
Erlenmeyer 250 ml 6 buah
i. Statif 2
buah
j. Klem 2
buah
k. Corong
biasa 1 buah
l.
Botol semprot 1 buah
m.
Ball pipet 1
buah
n.
Lap kasar 1
buah
o.
Lap halus 1
buah
2.
Bahan
a.
Larutan Natrium tiosulfat 0,1 N (Na2S2O3
(S))
b.
Larutan Kalium bikromat 0,1 N (K2Cr2O7)
c.
Larutan Asam klorida pekat (HCl)
d.
Larutan kalium iodida 0,1 N dan 1 N (KI)
e.
Indikator amilum
f.
Larutan Tembaga (II) sulfat (CuSO4)
g.
Aquadest (H2O)
h.
Tissue
i.
Label
E.
PROSEDUR KERJA
1.
Standarisasi larutan Na2S2O3
0,1 N
a.
Sebanyak 50 ml larutan natrium tiosulfat
dimasukkan ke dalam buret.
b.
Sebanyak 25 mL larutan standar K2Cr2O7
0,1 N (standar primer) dipipet, 6 mL HCl pekat dan 30 mL KI 0,1 N
ditambahkan.
c.
Larutan yang telah dibuat pada percobaan (b)
dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat, dan tambahkan indikator amilum
sebelum titik ekuivalen tercapai dan lanjutkan titrasi. Volume titran dicatat.
d.
Cara kerja ke-2 dan ke-3 diulangi sebanyak 3
kali ulangan dan volume titran rata-rata dicatat.
e.
Normalitas larutan standar tiosulfat dihitung
dengan rumus sebagai berikut:
2.
MenentukanCu dalam CuSO4
a.
25 mL larutan sampel CuSO4 diambil
dan ditambahn dengan 25 mL KI 1 N.
b.
Larutan yang telah dibuat pada perobaan (a)
dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat, dan tambahkan indikator amilum
sebelum titik ekuivalen tercapai dan lanjutkan titrasi. Volume titran dicatat.
c.
Cara kerja ke-1 dan ke-2 diulangi sebanyak tiga
kali dan volume titrasi rata-rata dicatat.
d.
Kadar Cu dalam sampel dihitung dengan cara
sebagai berikut:
x BM Cu
F.
HASIL PENGAMATAN
1.
Standarisasi
larutan Na2S2O3 0,1 N.
25 mL K2Cr2O7 + 6
mL HCl pekat Larutan bewarna kuning
(bening) (bening)
Larutan
berwarna kuning + 30 mL KI Larutan bewarna cokelat pekat
(bening)
Larutan
merah bata dititrasi dengan Na2S2O3 Larutan
cokelat pekat
(bening)
Larutan
kuning kecoklatan + 3 tetes amilum Larutan bewarna biru
(putih)
Titrasi
dilanjutkan Larutan
bewarna hijau muda
No.
|
Titrasi ke-
|
Volume titran (mL)
|
1.
|
I
|
26,50
|
2.
|
II
|
27,00
|
3.
|
III
|
26,70
|
|
Volume rata-rata
|
26,73
|
2.
Penentuan Cu
dalam CuSO4
25
mL larutan sampel CuSO4 + 25 mL KI 1 N Larutan cokelat
keruh
(biru) (bening)
Larutan
dititrasi dengan Na2S2O3 larutan cokelat muda
(bening)
Larutan
cokelat muda + 3 tetes amilum larutan cokelat muda
Titrasi
dilanjutkan Larutan putih
susu dan terdapat endapan putih
No.
|
Titasi ke-
|
Volume titran (mL)
|
1.
|
I
|
15,50
|
2.
|
II
|
15,00
|
3.
|
III
|
17,50
|
|
Volume rata-rata
|
16
|
G.
ANALISIS DATA
1.
Pembuatan
Larutan Standar Na2S2O3 0,1 N dan
Standarisasinya
Diketahui : V K2Cr2O7 = 25 mL
N
Na2S2O3 =
0,1 N
N
K2Cr2O7 =
0,1 N
Ditanya : N Na2S2O3
?
Penyelesaian
V rata-rata Na2S2O3=
= =
26,73 mL
N Na2S2O3=
=
= 0,093 N
2.
Menentukan Cu
dalam CuSO4
Diketahui : V CuSO4 = 25 mL
N Na2S2O3 = 0,093 N
Ar Cu = 63,5 mg/mmol
Ditanya : Kadar Cu = ?
Penyelesaian
V rata-rata Na2S2O3=
= = 16
mL
Kadar
Cu = BM Cu
=
63,5 mg/mmol
= 1,88976 mg/mL
H.
PEMBAHASAN
Iodometri
merupakan analisa titrimetrik secara tidak langsung untuk zat yang bersifat
oksidator. Titrasi iodometri dapat digunakan untuk menetapkan senyawa-senyawa
yang mempunyai potensial okasidasi yang lebih besar. Metode iodometri pada
standarisasi larutan Na2S2O3 dan penentuan Cu
dari CuSO4 merupakan salah satu analisis kuantitatif yang sangat
penting penggunaannya dalam menentukan konsentrasi zat yang ada dalam larutan.
Tujuan dari percobaan ini adalah untuk mengetahui normalitas larutan standar
natrium tiosulfat, dan menentukan kadar Cu dari CuSO4, dengan prinsip dasar yaitu titrasi
berdasarkan reaksi oksidasi dan reduksi.
1.
Pembuatan
larutan standar Na2S2O3 0,1 N dan
standarisasinya
Prinsip kerja yang digunakan pada percobaan ini ialah titrasi tidak
langsung (iodometri). Titrasi ini
menggunakan larutan iodida yang kemudian diubah menjadi iodin dengan
mereaksikannya dengan oksidator yaitu K2Cr2O7 0,1 N. Pada percobaan ini, larutan yang akan
dititrasi adalah larutan iodium. Larutan iodium diperoleh dari reaksi antara
kalium bikromat (K2Cr2O7), asam klorida (HCl), dan kalium (KI). K2Cr2O7 berfungsi
sebagai oksidator yang akan mengoksidasi iodida menjadi iodium (I2),
dan HCl berfungsi sebagai pemberi suasana asam yang akan memperkuat daya
oksidasi K2Cr2O7, serta KI berfungsi sebagai
penyedia gugus iodide (I). Adapun reaksinya :
K2Cr2O7
2 K+
+ Cr2O72-
KI K+ +
I-
Oksidasi : 2 I- I2 + 2e- (x3)
Reduksi : Cr2O72-
+ 14 H+ + 6e- 2 Cr3+ + H2O (1x)
Redoks : Cr2O72-
+ 14 H+ + 6I- 2
Cr3+ + I2 + H2O
Sehingga reaksi lengkapnya adalah :
K2Cr2O7(l) +
6 KI(l) + 14 HCl(l) 8 KCl(l)
+ 2 CrCl3(l) + 3I2(l) + 7 H2O(l)
Pembentukan
larutan iodium tidak dilakukan dalam suasana basa karena apabila
larutan I2 direaksikan pada suasana basa maka akan terbentuk
hipoiodit (HOI). Adapun reaksinya :
I2 + OH HOI + 2 H2O
3 HOI + 3 OH- 2 I- + IO3 -+
3 H2O
Larutan
iodium tersebut (I2) digunakan untuk menstandarisasi larutan natrium
tiosulfat (Na2S2O3). Larutan Na2S2O3
distadarisasi karena Na2S2O3 merupakan
larutan standar sekunder yang konsentrasinya tidak stabil dalam penyimpanan.
Kestabilan larutan dipengaruhi oleh pH rendah dan juga sinar matahari dan
bersifat hidroskopis (mudah menyerap
air). Selain itu, Na2S2O3 ini juga bersifat
flouleren artinya melapuk-lekang yang dapat menyebabkan larutan ini
konsentrasinya mudah berubah. Penggunaan larutan iodium disebabkan karena
kemampuannya mengoksidasi Na2S2O3 menjadi ion
tetrationat. Larutan selanjutnya dititrasi dengan Na2S2O3
sampai terjadi perubahan menjadi
hijau. Sebelum mencapai titik akhir titrasi, larutan tersebut ditambahkan
indikator amilum. Penambahan indikator amilum tidak dilakukan diawal titrasi
karena komplek amilum –I2 terurai sangat lambat akibatnya banyak I2
yang akan teradsorbsi oleh amilum sehingga iodium (I2) tidak
akan cepat bereaksi dengan Na2S2O3. Pengocokan
pada saat titrasi harus dikocok secara konstan dan cukup kuat untuk menghindari
terjadinya penumpukan tiosulfat pada area tertentu. Akibat penumpukan tiosulfat
dapat menyebabkan terjadinya penguraian tiosulfat menjadi belerang yang akan
mengganggu jalannya titrasi sehingga reaksi I2 dengan Na2S2O3 akan
semakin lambat. Adapun reaksinya :
KI K+
+ I-
Na2S2O3 2 Na+ + S2O32-
Oksidasi :
2 S2O32- S4O62-
+ 2e-
Reduksi :
I2 + 2e- 2
I-
Redoks :
2 S2O32- + I2 S4O62-
+ 2 I-
Sehingga reaksi lengkapnya adalah:
2Na2S2O3(l) + I2(l) Na2S4O6(l) + 2 NaI(l)
Titrasi dilakukan sebanyak tiga kali yang bertujuan untuk memperoleh
hasil yang lebih akurat dan untuk memperkecil kesalahan. Volume titran yang
digunakan untuk mencapai titik akhir titrasi yaitu 26,73 mL sehingga diperoleh normalitas larutan tiosulfat sebesar 1,88976 N, dimana menurut teori bahwa normalitas dari
larutan tiosulfat adalah 0,1 N. dari hasil yang didapatkan ini tidak sesuai
dengan teori, hal ini membuktikan bahwa larutan natrium tiosulfat merupakan
larutan standar sekunder karena normalistasnya yang dapat berubah-ubah.
2.
Penentuan
Cu dan CuSO4
Percobaan ini bertujuan untuk menentukan kadar Cu dalam CuSO4.
Larutan sampel (CuSO4) direaksikan dengan kalium iodida (KI). Standarisasi larutan Na2S2O3,
kita menentukan konsentrasi larutan standar sekunder. Larutan Na2S2O3
perlu distandarisasi karena konsentrasinya mudah berubah dalam penyimpanan.
Kestabilan larutan mudah dipengaruhi oleh pH rendah dan sinar matahari. Penentuan Cu menggunakan larutan CuSO4 sebagai larutan sampel dalam percobaan ini Penambahan KI berfungsi untuk mengendapkan
tembaga I- iodida yang berwarna putih. Pada saat CuSO4 direaksikan
dengan KI tidak terbentuk endapan putih, larutannya berwarna coklat. Hal ini
disebabkan karena terbentuknya ion-ion triiodida sehingga endapan tembaga(I)
iodida tidak terlihat. Adapun reaksinya :
KI K+
+ I-
CuSO4 Cu2+ + SO42-
Oksidasi :
2 I- I2
+ 2e-
Reduksi :
Cu2+ + 2e- Cu
Redoks :
Cu2+ + 2 I- Cu
+ I2
Sehingga, reaksi lengkapnya adalah:
2 CuSO4 + 4 KI 2 K2SO4 + 2 CuI2 + I2
Dengan menambahkan natrium tiosulfat secara berlebih pada saat
dititrasi, ion-ion triodida akan tereduksi menjadi ion iodida yang tak berwarna
dan warna putih dan endapan CuI menjadi terlihat. Adapun reaksinya :
KI K+
+ I-
Na2S2O3 2 Na+ + S2O32-
Oksidasi :
2 S2O32- S4O62-
+ 2e-
Reduksi :
I2 + 2e- 2
I-
Redoks :
2 S2O32- + I2 S4O62-
+ 2 I-
Sehingga reaksi lengkapnya adalah:
2
Na2S2O3 + I2 Na2S4O6
+ 2 NaI
Reaksi di atas terbentuk karena adanya penambahan indikator amilum
menjelang titik akhir titrasi. Penambahan indikator amilum dilakukan menjelang
titik akhir titrasi untuk mencegah terjadnya adsorpsi iodium oleh amilum,
sehingga ikatan antara iodium dan amilum semakin kuat yang menyebabkan Na2S2O3
sulit bereaksi dengan iodium.
Titrasi dilakukan sebanyak tiga kali untuk memperoleh hasil yang akurat
dan untuk memperkecil terjadinya kesalahan. Adapun volume titran rata-rata yang
diperoleh kadar Cu dalam CuSO4 adalah 9,921 mg/mL, yang artinya terdapat 9,921
mg/mL
dalam setiap 1 mL CuSO4.
I.
PENUTUP
1.
Kesimpulan
a.
Prinsip
percobaan ini yaitu titrasi tidak langsung. Na2S2O3
merupakan larutan standar sekunder yang konsentrasinya mudah
berubah. Normalitas larutan Na2S2O3
diperoleh pada percobaan adalah 1,88976 N.
b.
Penentuan
Cu dapat direaksikan laruan sampel CuSO4 dengan KI dan dititrasi dengan Na2S2O3
yang ditandai dengan terbentuknya
endapan putih CuI2. Kadar
Cu dalam CuSO4 dalam percobaan ini diperoleh 9,921 mg/mL.
2.
Saran
a.
Praktikan
harus memperhatikan pengocokan pada saat titrasi karena pengocokan yang tidak
konstan dapat mempengaruhi hasil akhir.
b.
Praktikan
harus memperhatikan penambahan indikator amilum, yaitu ditambahkan pada saat
menjelang akhir titik
titrasi.
c.
Praktikan
sebaiknya melakukan titrasi dengan cepat untuk menimalisasi terjadinya oksidasi
iodida oleh udara bebas.
DAFTAR PUSTAKA
Day, R. A., dan L.A. Underwood. 2002. Analisis Kimia Kuantitatif Edisi Keenam.
Jakarta: Erlangga.
Harjadi, W. 1990. Ilmu
Kimia Analitik Dasar. Jakarta: PT Gramedia.
Ibnu, Sodiq M. Endang Budiasih. Hayuni Retno Widarti
dan Munzil. 2004. Kimia Analitik I.
Malang: JICA Universitas Negeri Malang.
Karinda,
M, dkk. 2013. Perbandingan Penetapan Kadar Vitamin C Mangga Dodol dengan
Menggunakan Metode Spektrofotometri UV-Vis dan Iodometri. Jurnal Ilmiah Farmasi. Vol. 2 No. 1
Khopkar, S.M. 2010. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: Universitas Indonesia
(UI-Press).
Pursitasari, Indarini Dwi. 2014. Kimia Analitik Dasar. Jakarta: Alfabeta.
Siti, dkk. 2016. Penetapan Kadar Vitamin C pada Jerami
Nangka (Artocarpus heterpophyllus L.). Jurnal
Farmasi Sains dan Praktis. Vol. 2 No. 1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar