Kamis, 29 November 2018

Iodometri dan penentuan Cu Kimia Analitik I


A.  JUDUL PERCOBAAN
Iodometri dan penentuan Cu
B.  TUJUAN PERCOBAAN
1.    Mempelajari teknik pembuatan larutan standar Na2S2O3 0,1 N dan standarisasinya.
2.    Mengetahui cara menghitung normalitas larutan standar natrium tiosulfat.
3.    Mengetahui cara penentuan kadar Cu dari CuSO4.
C.  LANDASAN TEORI
Iodin (I2) sukar larut dalam air tetapi mudah larut dalam larutan yang mengandung ion iodida membentuk triiodida (I3-). Kelarutannya dapat ditingkatkan dengan menambahkan kalium iodida. Penambahan kalium iodida juga dapat mengurangi sifat mudah menguap dari iodin. Iodin dalam bentuk triiodida (I3-) merupakan oksidator yang lebih lemah daripada kalium permanganat dan kalium dikromat. Potensial reduksi standar dari iodin sebesar 0,54V dengan persamaan reaksi:
Meskipun sebenarnya iodin dalam bentuk triiodida namun untuk mempermudah maka dituliskan dengan bentuk I2. Analisis titrimetri yang melibatkan iodin dibedakan menjadi dua yakni titrasi iodometri langsung dan titrasi iodometri tidak langsung (Pursitasari, 2014: 175).
Iodometri dengan Na2S2O3 sebagai titran (titrasi tidak langsung). Analat harus berbentuk suatu oksidator yang cukup kuat, karena dalam metode ini analat selalu direduksi dulu dengan KI sehingga terjadi I2. I2 inilah yang dititrasi dengan Na2S2O3. Titrasi dapat dilakukan tanpa indikator dari luar karena warna I2 yang dititrasi itu akan lenyap bila titik akhir tercapai; warna itu mula-mula cokelat agak tua, menjadi lebih muda, lalu kuning-muda dan seterusnya, sampai akhirnya lenyap. Bila diamati dengan cermat perubahan warna tersebut, maka titik akhir dapat ditentukan dengan cukup jelas. Konsentarsi= 5 x 10-6 M yod masih tepat dapat dilihat dengan dan memungkinkan penghentian titrasi dengan kelebihan hanya senilai 1 tetes yod 0,05 M. Namun lebih mudah bila ditambahakan amilum ke dalam larutan sebagai indikator (Harjadi, 1990: 212-213).
Menurut Ibnu (2004: 119-120) ada dua cara untuk melakukan proses iodo/iodimetri, yakni:
1.    Titrasi langsung (Iodimetri)
Titrasi dilakukan langsung dengan larutan standar iod sebagai oksidator karena larutan iod adalah oksidator lemah dan penggunaannya terbatas. Contoh zat-zat yang ditentukan adalah zat H2S, SO22-, S2O32-, AsO3-, dan SbO3-.
2.      Titrasi tak langsung
Zat yang akan ditentukan direaksikan dengan iod iodida biasanya digunakan larutan KI berlebih. Zat oksidator direduksi dengan membebaskan I2 yang jumlahnya ekivalen. Larutan baku iod dapat dibuat dari unsur murninya. Standarisasinya dapat dilakukan dengan asam arsenit (H3AsO3) sebagai standar primernya.
Iodometri langsung (Iodimetri) merupakan titrasi terhadap larutan analit dengan larutan iodin sebagai larutan standar (titran) menggunakan indikator amilum sehingga titrasi iodometri langsung disebut sebagai titrasi iodimetri. Beberapa senyawa yang dapat dititrasi dengan larutan iodin adalah tiosulfat, arsen, antimony, sulfida, sulfit dan ferrosianida. Larutan iodin merupakan larutan standar sekunder sehingga sebelum digunakan untuk menentukan kuantitas analit maka larutan iodin harus distandarisasi terlebih dahulu dengan larutan standar primer. Standarisasi larutan iodin dilakukan dengan menggunakan arsen trioksida sebagai larutan standar primer. Senyawa arsen trioksida dinetralkan dengan penambahan asam (Pursitasari, 2014: 175).
Perbedaan antara iodometri dan iodimetri adalah pada iodometri perubahan warna pada titik ekivalen (TE) dari biru menjadi tak berwarna sedangkan pada iodimetri perubahan warna pada titik ekivalen (TE) dari tak berwarna menjadi biru. Kelemahan dari titrasi tak langsung adalah larutan iod merupakan oksidator yang lemah, tak stabil karena mudah menguap. Larutan iod dapat mengoksidasi karet, gabus, dan zat-zat organik lainnya. Larutan iod juga dipengaruhi oleh udara dan larutan iod tidak dapat digunakan atau dilakukan dalam suasana basa, yakni pada pH > 9 (Ibnu, 2004: 120-121).
Natrium tiosulfat umumnya dibeli sebagai pentahidrat Na2S2O3×5H2O dan
larutan-larutannya distandarisasi terhadap sebuah standar primer. Larutan-larutan tersebut tidak stabil pada jangka waktu yang lama sehingga boraks atau natrium karbonat seringkali ditambahkan sebagai bahan pengawet. Iodin mengoksidasi tiosulfat menjadi ion tetrationat:
Sejumlah substansi dapat dipergunakan sebagai larutan standar-standar primer untuk larutan tiosulfat. Iodin murni adalah larutan standar yang paling jelas namun jarang dipergunakan karena kesulitannya dalam penanganan dan penimbangan. Yang lebih sering dipergunakan adalah standar yang terbuat dari suatu agen pengoksidasi kuat yang akan membebaskan iodin dan iodida sebuah proses iodometrik (Day, 2002: 298).
Larutan Na2S2O3 biasanya dibuat dari garam pentahidratnya Na2S2O3×5H2O. Larutan ini perlu distandarisasi. Kestabilan larutan mudah dipengaruhi oleh pH rendah, sinar matahari, dan terutama adanya bakteri yang memanfaatkan S. Kestabilan larutan Na2S2O3 dalam penyimpanan ternyata paling baik bila mempunyai pH antara 9 dan 10, mungkin karena aktivitas bakteri yang minimal. Untuk kebutuhan biasa, pH 7 sudah sangat memadai. Walaupun demikian, larutan Na2S2O3 harus distandarisasi ulang. Kebanyakan titrasi yodometri dilakukan pada pH antara 5 dan 9 maka kesalahan oksigen menjadi kecil. Namun jangan membiarkan larutan untuk dititrasi tergeletak terlalu lama, sebaiknya secepatnya dititrasi setelah penambahan KI (ini sejalan dengan usaha pencegahan kesalahan karena I2 yang menguap) (Harjadi, 1990: 213-214).
Harga E° iodium berada pada daerah pertengahan sehingga sistem iodium dapat digunakan untuk oksidator maupun reduktor. Jika E° tidak bergantung pada pH (pH < 8,0 ) maka persamaan reaksinya:
I2 adalah oksidator lemah sedangkan iodida secara relatif merupakan reduktor
lemah. Kelarutannya cukup baik dalam air dengan pembentukan triodida (KI3).
Sehingga   adalah reaksi pada permulaan reaksi. Iodium dapat dimurnikan dengan sublimasi. Ia larut dalam larutan KI dan harus disimpan dalam tempat yang dingin dan gelap. Dapat distandarisasi dengan As2O3. Berkurangnya iodium akibat penguapan dan oksidasi udara menyebabkan banyak kesalahan analisis. Cara lain yang digunakan adalah dengan standarisasi  menggunakan senyawa Na2S2O3×5H2O. Larutan tiosulfat distandarisasi terlebih dahulu dengan K2Cr2O7 (Khopkar, 1990:58-59).
Suatu kelebihan kalium iodida ditambahkan untuk meningkatkan kelarutan dan untuk menurunkan keatsirian iodin. Biasanya sekitar 3 sampai 4% berat KI ditambahkan kedalam larutan 0,1 N dan botol yang mengandung larutan ini disumbat dengan baik. Larutan-larutan iodin standar dapat dibuat melalui penimbangan langsung pada iodin murni dan pengenceran dalam sebuah labu volumetrik. Iodin akan dimurnikan oleh sublimasi dan ditambahkan ke dalam sebuah larutan KI yang terkonsentrasi (Day, 2002: 296).
Aplikasi metode iodimetri dapat digunakan dalam perbandingan hasil penetapan kadar vitamin C. Selain iodimetri juga dapat digunakan metode spektrofotometri UV-Vis. Sampel yang telah ditimbang, diencerkan lalu ditambahkan dengan asam sulfat 10% dan ditambahkan beberapa tetes larutan amilum 1% sebagai indikator. Setelah itu sampel dititrasi dengan larutan iodium hingga berwarna biru. Warna biru adalah iod-amilum yang menandakan bahwa proses titrasi telah mencapai titik akhir. Penggunaan metode spektrofotometri UV-Vis lebih besar daripada menggunakan metode iodimetri (Karinda, 2013: 89).
Ada banyak aplikasi iodometrik dalam kimia analisis. Penentuan iodometrik tembaga banyak dipergunakan baik untuk bijih maupun paduannya. Metode ini memberikan hasil-hasil yang sempurna dan lebih cepat daripada penentuan elektrolitik tembaga. Metode klasik dari walker adalah sebuah metode sensitif untuk menentukan oksigen yang dilarutkan dalam air. Ke dalam sampel air ditambahkan sejumlah berlebih garam mangan (II), natrium iodida, dan natrium hidroksida (Day, 2002: 299).     
Amilum dengan I2 membentuk suatu kompleks berwarna biru tua yang masih sangat jelas sekalipun I2 yang digunakan sedikit sekali. Pada titik akhir, yod yang terikat itupun hilang bereaksi dengan titrant sehingga warna biru lenyap mendadak dan perubahan warnanya tampak sangat jelas. Penambahan amilum ini harus menunggu sampai mendekati titik akhir titrasi, titik akhir titrasi ditandai bilayod sudah tinggal sedikit yang nampak dari warnanya yang kuning-muda. Maksudnya ialah agar amilum tidak membungkus yod dan menyebabkannya sukar lepas kembali. Hal itu akan mengakibatkan warna biru sulit sekali lenyap sehingga titik akhir tidak kelihatan tajam lagi. Bila yod masih banyak sekali bahkan dapat menguraikan amilum dan hasil penguraian ini mengganggu perubahan warna pada titik akhir (Harjadi, 1990: 213).
Iodida pada konsentrasi <10-5 M dapat dengan mudah ditekan oleh amilum. Sensitivitas warnanya tergantung pada pelarut yang digunakan. Kompleks iodium-amilum mempunyai kelarutan yang kecil dalam air sehingga biasanya ditambahkan pada titik akhir reaksi. Reaksi iodium-tiosulfat, jika larutan iodium di dalam KI pada suasana netral maupun asam dititrasi maka:

Selama reaksi zat antara S2O3I- yang tidak berwarna adalah terbentu sebagai
Reaksi berlangsung baik di bawah pH = 5,0 sedangkan pada larutan, larutan asam hypoiodus (HOI) terbentuk (Khopkar, 1990: 59).
Pembakuan iodium dilakukan sebanyak 3 kali replikasi. Pada saat pembakuan iodium terjadi kesalahan pada saat pembuatannya, yakni terlalu banyak saat pengenceran aquades menyebabkan hasil tidak bisa digunakan untuk titrasi karena terlalu encer. Sehingga dilakukan pembuatan ulang larutan baku iodium, dengan hasil yang didapat sesuai yang diinginkan sehingga bisa digunakan untuk titrasi. Tujuan dilakukan pembakuan adalah untuk menyamakan larutan yang digunakan untuk titrasi dengan standar larutan baku. Hasil dari rata-rata titrasi didapat 33,83 ml dan normalitasnya 0,089 N dengan perubahan warna kuning ke merah muda kemudian menjadi biru mantap. Dasar dari metode Iodimetri adalah bersifat mereduksi vitamin C (asam askorbat). Asam askorbat merupakan zat pereduksi yang kuat dan secara sederhana dapat dititrasi dengan larutan baku iodium. Metode iodimetri (titrasi langsung dengan larutan baku idoium 0,1 N) dapat digunakan pada asam askorbat murni atau larutannya (Siti, dkk. 2016: 4).D.      ALAT DAN BAHAN
1.      Alat
a.     Gelas kimia 50 ml                               1 buah
b.    Pipet volume 25 ml                             2 buah
c.     Gelas ukur 10 mL                               1 buah
d.    Gelas ukur 25 ml                                 1 buah
e.     Gelas ukur 50 mL                               1 buah
f.     Pipet tetes                                           6 buah
g.    Buret 50 ml                                         2 buah
h.    Labu Erlenmeyer 250 ml                     6 buah
i.      Statif                                                   2 buah
j.      Klem                                                   2 buah
k.    Corong biasa                                       1 buah
l.      Botol semprot                                                 1 buah
m.  Ball pipet                                             1 buah
n.    Lap kasar                                             1 buah
o.    Lap halus                                             1 buah
2.      Bahan
a.         Larutan Natrium tiosulfat 0,1 N                   (Na2S2O3 (S))
b.         Larutan Kalium bikromat 0,1 N                   (K2Cr2O7)
c.         Larutan Asam klorida pekat                         (HCl)
d.        Larutan kalium iodida 0,1 N dan 1 N          (KI)
e.         Indikator amilum
f.          Larutan Tembaga (II) sulfat                                     (CuSO4)
g.         Aquadest                                                      (H2O)
h.         Tissue
i.           Label

E. PROSEDUR KERJA
1.      Standarisasi larutan Na2S2O3 0,1 N
a.    Sebanyak 50 ml larutan natrium tiosulfat dimasukkan ke dalam buret.
b.    Sebanyak 25 mL larutan standar K2Cr2O7 0,1 N (standar primer) dipipet, 6 mL HCl pekat dan 30 mL KI 0,1 N ditambahkan.
c.    Larutan yang telah dibuat pada percobaan (b) dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat, dan tambahkan indikator amilum sebelum titik ekuivalen tercapai dan lanjutkan titrasi. Volume titran dicatat.
d.   Cara kerja ke-2 dan ke-3 diulangi sebanyak 3 kali ulangan dan volume titran rata-rata dicatat.
e.    Normalitas larutan standar tiosulfat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
2.      MenentukanCu dalam CuSO4
a.       25 mL larutan sampel CuSO4 diambil dan ditambahn dengan 25 mL KI 1 N.
b.      Larutan yang telah dibuat pada perobaan (a) dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat, dan tambahkan indikator amilum sebelum titik ekuivalen tercapai dan lanjutkan titrasi. Volume titran dicatat.
c.       Cara kerja ke-1 dan ke-2 diulangi sebanyak tiga kali dan volume titrasi rata-rata dicatat.
d.      Kadar Cu dalam sampel dihitung dengan cara sebagai berikut:
BM Cu
F.   HASIL PENGAMATAN
1.    Standarisasi larutan Na2S2O3 0,1 N.
25 mL K2Cr2O7 + 6 mL HCl pekat           Larutan bewarna kuning
    (bening)    (bening)
Larutan berwarna kuning + 30 mL KI             Larutan bewarna cokelat pekat
                                             (bening)
Larutan merah bata dititrasi dengan Na2S2O3                 Larutan cokelat pekat
                                       (bening)
Larutan kuning kecoklatan + 3 tetes amilum           Larutan bewarna biru
                                                (putih)
Titrasi dilanjutkan                Larutan bewarna hijau muda


No.
Titrasi ke-
Volume titran (mL)
1.
I
26,50
2.
II
27,00
3.
III
26,70

Volume rata-rata
26,73
2.    Penentuan Cu dalam CuSO4
25 mL larutan sampel CuSO4 + 25 mL KI 1 N               Larutan cokelat keruh
                             (biru)                (bening)
Larutan dititrasi dengan Na2S2O3                   larutan cokelat muda
 (bening)
Larutan cokelat muda + 3 tetes amilum               larutan cokelat muda
Titrasi dilanjutkan             Larutan putih susu dan terdapat endapan putih
No.
Titasi ke-
Volume titran (mL)
1.
I
15,50
2.
II
15,00
3.
III
17,50

Volume rata-rata
16

G.  ANALISIS DATA
1.      Pembuatan Larutan Standar Na2S2O3 0,1 N dan Standarisasinya
Diketahui        : V K2Cr2O7                = 25 mL
                        N Na2S2O3                  = 0,1 N
                        N K2Cr2O7                        = 0,1 N
Ditanya           : N Na2S2O3 ?
Penyelesaian
V rata-rata Na2S2O3= = = 26,73 mL
N Na2S2O3=
                =
                      = 0,093 N

2.      Menentukan Cu dalam CuSO4
Diketahui        : V CuSO4                   = 25 mL
                         N Na2S2O3                 = 0,093 N
                         Ar Cu                         = 63,5 mg/mmol
Ditanya           : Kadar Cu = ?
Penyelesaian
V rata-rata Na2S2O3= = = 16 mL
Kadar Cu               = BM Cu
                                =  63,5 mg/mmol
                                = 1,88976 mg/mL

H.      PEMBAHASAN
Iodometri merupakan analisa titrimetrik secara tidak langsung untuk zat yang bersifat oksidator. Titrasi iodometri dapat digunakan untuk menetapkan senyawa-senyawa yang mempunyai potensial okasidasi yang lebih besar. Metode iodometri pada standarisasi larutan Na2S2O3 dan penentuan Cu dari CuSO4 merupakan salah satu analisis kuantitatif yang sangat penting penggunaannya dalam menentukan konsentrasi zat yang ada dalam larutan. Tujuan dari percobaan ini adalah untuk mengetahui normalitas larutan standar natrium tiosulfat, dan menentukan kadar Cu dari CuSO4, dengan prinsip dasar yaitu titrasi berdasarkan reaksi oksidasi dan reduksi.
1.        Pembuatan larutan standar Na2S2O3 0,1 N dan standarisasinya
Prinsip kerja yang digunakan pada percobaan ini ialah titrasi tidak langsung (iodometri).  Titrasi ini menggunakan larutan iodida yang kemudian diubah menjadi iodin dengan mereaksikannya dengan oksidator yaitu K2Cr2O7 0,1 N. Pada percobaan ini, larutan yang akan dititrasi adalah larutan iodium. Larutan iodium diperoleh dari reaksi antara kalium bikromat (K2Cr2O7), asam klorida (HCl), dan kalium (KI). K2Cr2O7 berfungsi sebagai oksidator yang akan mengoksidasi iodida menjadi iodium (I2), dan HCl berfungsi sebagai pemberi suasana asam yang akan memperkuat daya oksidasi K2Cr2O7, serta KI berfungsi sebagai penyedia gugus iodide (I). Adapun reaksinya :
    K2Cr2O7                               2 K+ + Cr2O72-
    KI                                 K+ + I-              
    Oksidasi :  2 I-                                                                            I2 + 2e-                     (x3)
    Reduksi  :  Cr2O72- + 14 H+ + 6e-                            2 Cr3+ +  H2O        (1x)
    Redoks   :   Cr2O72- + 14 H+ + 6I-                             2 Cr3+ +  I2 + H2O
      
Sehingga reaksi lengkapnya adalah :
K2Cr2O7(l)  +  6 KI(l) + 14 HCl(l)             8 KCl(l) + 2 CrCl3(l) + 3I2(l) + 7 H2O(l)
Pembentukan larutan iodium tidak dilakukan dalam suasana basa karena  apabila    larutan I2 direaksikan pada suasana basa maka akan terbentuk hipoiodit (HOI). Adapun reaksinya :
            I2 + OH                                 HOI + 2 H2O
             3 HOI + 3 OH-                         2 I- + IO3 -+ 3 H2O
Larutan iodium tersebut (I2) digunakan untuk menstandarisasi larutan natrium tiosulfat (Na2S2O3). Larutan Na2S2O3 distadarisasi karena Na2S2O3 merupakan larutan standar sekunder yang konsentrasinya tidak stabil dalam penyimpanan. Kestabilan larutan dipengaruhi oleh pH rendah dan juga sinar matahari dan bersifat  hidroskopis (mudah menyerap air). Selain itu, Na2S2O3 ini juga bersifat flouleren artinya melapuk-lekang yang dapat menyebabkan larutan ini konsentrasinya mudah berubah. Penggunaan larutan iodium disebabkan karena kemampuannya mengoksidasi Na2S2O3 menjadi ion tetrationat. Larutan selanjutnya dititrasi dengan Na2S2O3  sampai terjadi perubahan menjadi hijau. Sebelum mencapai titik akhir titrasi, larutan tersebut ditambahkan indikator amilum. Penambahan indikator amilum tidak dilakukan diawal titrasi karena komplek amilum –I2 terurai sangat lambat akibatnya banyak I2 yang akan teradsorbsi oleh amilum sehingga iodium (I2) tidak akan cepat bereaksi dengan Na2S2O3. Pengocokan pada saat titrasi harus dikocok secara konstan dan cukup kuat untuk menghindari terjadinya penumpukan tiosulfat pada area tertentu. Akibat penumpukan tiosulfat dapat menyebabkan terjadinya penguraian tiosulfat menjadi belerang yang akan mengganggu jalannya titrasi sehingga reaksi I2  dengan Na2S2O3 akan semakin lambat. Adapun reaksinya :
KI                    K+ + I-
Na2S2O3                      2 Na+ + S2O32-
Oksidasi          : 2 S2O32-                     S4O62- + 2e-  
Reduksi           : I2 + 2e-                       2 I                
Redoks            : 2 S2O32- + I2              S4O62- + 2 I-
Sehingga reaksi lengkapnya adalah:
2Na2S2O3(l) + I2(l)                Na2S4O6(l) + 2 NaI(l)
Titrasi dilakukan sebanyak tiga kali yang bertujuan untuk memperoleh hasil yang lebih akurat dan untuk memperkecil kesalahan. Volume titran yang digunakan untuk mencapai titik akhir titrasi yaitu 26,73 mL sehingga diperoleh normalitas larutan tiosulfat sebesar 1,88976 N, dimana menurut teori bahwa normalitas dari larutan tiosulfat adalah 0,1 N. dari hasil yang didapatkan ini tidak sesuai dengan teori, hal ini membuktikan bahwa larutan natrium tiosulfat merupakan larutan standar sekunder karena normalistasnya yang dapat berubah-ubah.

2.        Penentuan Cu dan CuSO4
Percobaan ini bertujuan untuk menentukan kadar Cu dalam CuSO4. Larutan sampel (CuSO4) direaksikan dengan kalium iodida (KI). Standarisasi larutan Na2S2O3, kita menentukan konsentrasi larutan standar sekunder. Larutan Na2S2O3 perlu distandarisasi karena konsentrasinya mudah berubah dalam penyimpanan. Kestabilan larutan mudah dipengaruhi oleh pH rendah dan sinar matahari. Penentuan Cu menggunakan larutan CuSO4 sebagai larutan sampel dalam percobaan ini Penambahan KI berfungsi untuk mengendapkan tembaga I- iodida yang berwarna putih. Pada saat CuSO4 direaksikan dengan KI tidak terbentuk endapan putih, larutannya berwarna coklat. Hal ini disebabkan karena terbentuknya ion-ion triiodida sehingga endapan tembaga(I) iodida tidak terlihat. Adapun reaksinya :
KI                    K+ + I-
CuSO4                           Cu2+ + SO42-
Oksidasi          : 2 I-                 I2 + 2e-
Reduksi           : Cu2+ + 2e-                  Cu                  
Redoks            : Cu2+ + 2 I-                 Cu + I2
Sehingga, reaksi lengkapnya adalah:
2 CuSO4 + 4 KI                2 K2SO4 + 2 CuI2 + I2
Dengan menambahkan natrium tiosulfat secara berlebih pada saat dititrasi, ion-ion triodida akan tereduksi menjadi ion iodida yang tak berwarna dan warna putih dan endapan CuI menjadi terlihat. Adapun reaksinya :
KI                    K+ + I-
Na2S2O3                      2 Na+ + S2O32-
Oksidasi          : 2 S2O32-                     S4O62- + 2e-  
Reduksi           : I2 + 2e-                       2 I                
Redoks            : 2 S2O32- + I2              S4O62- + 2 I-
Sehingga reaksi lengkapnya adalah:
2        Na2S2O3 + I2                   Na2S4O6 + 2 NaI
Reaksi di atas terbentuk karena adanya penambahan indikator amilum menjelang titik akhir titrasi. Penambahan indikator amilum dilakukan menjelang titik akhir titrasi untuk mencegah terjadnya adsorpsi iodium oleh amilum, sehingga ikatan antara iodium dan amilum semakin kuat yang menyebabkan Na2S2O3  sulit bereaksi dengan iodium.
Titrasi dilakukan sebanyak tiga kali untuk memperoleh hasil yang akurat dan untuk memperkecil terjadinya kesalahan. Adapun volume titran rata-rata yang diperoleh kadar Cu dalam CuSO4 adalah 9,921 mg/mL, yang artinya terdapat 9,921 mg/mL dalam setiap 1 mL CuSO4.

I.         PENUTUP
1.        Kesimpulan
a.       Prinsip percobaan ini yaitu titrasi tidak langsung. Na2S2O3 merupakan larutan standar sekunder yang konsentrasinya mudah berubah. Normalitas larutan Na2S2O3 diperoleh pada percobaan adalah 1,88976  N.
b.      Penentuan Cu dapat direaksikan laruan sampel CuSO4 dengan KI dan dititrasi dengan Na2S2O3  yang ditandai dengan terbentuknya endapan putih CuI2. Kadar Cu dalam CuSO4 dalam percobaan ini diperoleh 9,921 mg/mL.

2.        Saran
a.       Praktikan harus memperhatikan pengocokan pada saat titrasi karena pengocokan yang tidak konstan dapat mempengaruhi hasil akhir.
b.      Praktikan harus memperhatikan penambahan indikator amilum, yaitu ditambahkan pada saat menjelang akhir titik titrasi.
c.       Praktikan sebaiknya melakukan titrasi dengan cepat untuk menimalisasi terjadinya oksidasi iodida oleh udara bebas.

DAFTAR PUSTAKA
Day, R. A., dan L.A. Underwood. 2002. Analisis Kimia Kuantitatif Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga.
Harjadi, W. 1990. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Jakarta: PT Gramedia.
Ibnu, Sodiq M. Endang Budiasih. Hayuni Retno Widarti dan Munzil. 2004. Kimia Analitik I. Malang: JICA Universitas Negeri Malang.
Karinda, M, dkk. 2013. Perbandingan Penetapan Kadar Vitamin C Mangga Dodol dengan Menggunakan Metode Spektrofotometri UV-Vis dan Iodometri. Jurnal Ilmiah Farmasi. Vol. 2 No. 1
Khopkar, S.M. 2010. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press).
Pursitasari, Indarini Dwi. 2014. Kimia Analitik Dasar. Jakarta: Alfabeta.
Siti, dkk. 2016. Penetapan Kadar Vitamin C pada Jerami Nangka (Artocarpus heterpophyllus L.). Jurnal Farmasi Sains dan Praktis. Vol. 2 No. 1. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar